Memahami Jepang Lewat Drama dan Lagu Pop : Sarasehan Ungkap Budaya Melalui Data Visual
Acara ini diketuai oleh Sri Lestari, Kepala Perpustakaan FISIB UNPAK, yang turut berperan penting dalam terselenggaranya kegiatan ini. Dalam koordinasinya, Sri Lestari menyampaikan bahwa sarasehan ini bertujuan memperkuat literasi budaya serta menumbuhkan minat mahasiswa terhadap kajian lintas budaya berbasis media populer. Sarasehan menghadirkan Raphaella Dewantari Dwianto, MA., Ph.D. sebagai narasumber utama. Ia merupakan akademisi yang menekuni studi budaya Jepang, khususnya pada aspek media, hiburan, dan komunikasi lintas budaya. Dalam paparannya, Raphaella menunjukkan bagaimana budaya populer khususnya drama televisi dan lagu pop bisa menjadi jendela untuk memahami realitas sosial di Jepang.
Acara dibuka oleh Sasongko S. Putro, M.M., yang dalam sambutannya menekankan pentingnya mempelajari budaya asing untuk memperluas wawasan global. “Budaya populer merupakan medium yang reflektif. Kita bisa mengenali struktur masyarakat, nilai-nilai, hingga problematika sosial melalui tontonan atau musik”. Acara dimoderatori oleh Mugiyanti, M.Si., yang memandu jalannya diskusi dengan hangat dan komunikatif. Sejumlah dosen juga turut hadir dalam kegiatan ini, di antaranya Agatha Trisari, M.Hum. dan Helen Susanti, M.Si., sebagai bentuk dukungan terhadap integrasi kajian budaya dalam pendidikan sastra.
Membaca Realitas Sosial Lewat Drama Jepang: Nigeru wa Haji da ga Yaku ni Tatsu. Sorotan utama dalam sarasehan ini adalah pembahasan drama Jepang yang sangat populer, “Nigeru wa Haji da ga Yaku ni Tatsu” yang dapat diterjemahkan menjadi “Melarikan Diri Itu Memalukan, Tapi Berguna”. Drama ini menceritakan kisah Mikuri Moriyama, seorang wanita muda yang kesulitan mendapatkan pekerjaan tetap, hingga akhirnya menerima tawaran “pernikahan kontrak” dengan seorang pria lajang bernama Hiramasa Tsuzaki.
Alih-alih sekadar menjadi tontonan romantis, drama ini justru menggugah perdebatan publik karena mengangkat isu-isu sosial seperti peran gender, struktur kerja di Jepang, dan redefinisi institusi pernikahan. Raphaella menjelaskan bagaimana data sosial media, statistik penonton, dan analisis tren online menunjukkan betapa kuatnya respons masyarakat Jepang terhadap tema yang diangkat dalam drama ini. “Serial ini tidak hanya menghibur, tetapi juga menantang norma sosial. Data yang kami kumpulkan menunjukkan bahwa banyak penonton merasa terwakili oleh karakter-karakter yang mencoba mencari celah di tengah tekanan sosial yang rigid”.
Selain isi cerita drama, sarasehan juga menyoroti fenomena Koi Dance, yaitu tarian dari lagu tema Nigeru wa Haji da ga Yaku ni Tatsu, berjudul “Koi” yang dibawakan oleh penyanyi Gen Hoshino. Tarian ini menjadi viral dan menjadi tren nasional di Jepang, bahkan menyebar ke mancanegara melalui media sosial seperti YouTube dan TikTok. Raphaella menampilkan data visual yang menunjukkan peta persebaran unggahan ulang Koi Dance, jumlah engagement, dan kategori usia penonton. Ia menjelaskan bahwa fenomena ini bukan sekadar tren sesaat, tetapi juga menunjukkan bagaimana budaya Jepang mampu menembus batas-batas geografis melalui estetika yang sederhana namun komunikatif. “Koi Dance adalah contoh bagaimana budaya pop bekerja sebagai diplomasi lunak. Ia menciptakan kedekatan emosional dan keakraban budaya melalui gerakan dan lagu yang mudah diingat”.
Dengan pendekatan visualisasi data, sarasehan ini membuka ruang diskusi tentang bagaimana masyarakat Jepang menggambarkan diri mereka sendiri melalui media populer. Drama dan lagu pop bukan sekadar produk hiburan, melainkan cerminan nilai, harapan, bahkan kritik sosial yang halus namun efektif. Raphaella juga menekankan bahwa analisis budaya populer seharusnya tidak dipandang sebelah mata. “Dalam dunia komunikasi modern, konten hiburan justru memiliki kekuatan besar dalam membentuk opini publik dan dinamika sosial”.
Sarasehan ini menjadi kegiatan yang membuka cakrawala berpikir para peserta, khususnya mahasiswa Ilmu Komunikasi, untuk melihat bahwa media populer bukan hanya konsumsi harian, tapi juga ladang kajian ilmiah yang kaya makna. Lewat data visual, peserta diajak tidak hanya menonton, tetapi juga membaca realitas sosial yang tersembunyi di balik layar kaca dan lirik lagu.
Acara ini membuktikan bahwa pemahaman lintas budaya bisa dimulai dari hal-hal yang kita nikmati sehari-hari dan dengan pendekatan yang tepat, budaya pop bisa menjadi pintu masuk menuju pemahaman yang lebih dalam terhadap suatu bangsa.