Merawat Ingatan, Mengenang Tragedi Mei 1998 Melalui Wisata Literasi Diskusi Novel Mei Merah 1998 – Mengungkap Fakta, Menumbuhkan Empati
Sejarah tak akan pernah hilang selama kita terus merawatnya dalam ingatan kolektif. Salah satu cara menjaga bara ingatan tersebut tetap menyala adalah melalui literasi—membaca, menulis, dan berdiskusi. Dalam rangka mengenang Tragedi Mei 1998 yang menandai runtuhnya rezim Orde Baru dan menyisakan luka mendalam dalam sejarah bangsa, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya (FISIB) Universitas Pakuan turut berpartisipasi dalam kegiatan Wisata Literasi yang diselenggarakan oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (DISPUSIP) DKI Jakarta, bekerja sama dengan RayaKultura dan Perpustakaan Jakarta.
Dalam kesempatan ini, Yuyus Rustandi, M.Pd., selaku Kepala Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya (FISIB) Universitas Pakuan, turut hadir dan berpartisipasi aktif dalam diskusi. Kehadiran beliau tidak hanya menjadi bentuk dukungan institusional terhadap gerakan literasi sejarah, tetapi juga menegaskan komitmen FISIB dalam mendorong kesadaran kritis mahasiswa melalui pendekatan humaniora.
Novel Mei Merah 1998 bukan sekadar karya fiksi. Ia merupakan bentuk upaya literer membongkar fakta, menyuarakan luka, dan membuka ruang empati terhadap tragedi nasional yang sarat dengan ketidakadilan, rasisme, kekerasan terhadap perempuan, serta pelanggaran hak asasi manusia. Melalui pendekatan sastra, peserta diajak menyelami konteks sosial-politik yang melatarbelakangi peristiwa tersebut, sekaligus merefleksikan kondisi bangsa hari ini.
Diskusi berlangsung interaktif dan menggugah, mempertemukan narasi sejarah dengan kesadaran literasi generasi muda. Dalam suasana yang hangat namun penuh makna, Budiman Sudjatmiko membagikan proses kreatif dan pengalaman personal dalam merangkai novel yang mengangkat tragedi yang selama ini kerap terpinggirkan dalam pendidikan formal.
Bagi kami, kegiatan ini menjadi ruang belajar di luar kelas yang tidak hanya menambah wawasan, tetapi juga menumbuhkan keberanian untuk bersikap kritis dan peduli terhadap isu kemanusiaan. Ini adalah bentuk penghormatan terhadap para korban dan penyintas, serta ajakan untuk tidak membiarkan sejarah dibungkam oleh waktu.
Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan luka-lukanya—bangsa yang memilih untuk belajar darinya, menjaga kebenaran, dan terus menyalakan lentera keadilan melalui literasi.